Ini postingan tulis ulang dari blog saya yang lain.
Mungkin bisa jadi renungan bagi kita.
Saya coba kompilasi dari beberapa sumber berita tentang minat baca di Indonesia.
Courtesy of uprint.id |
Penelitian yang dilakukan UNESCO pada tahun 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil studi yang dipublikasikan dengan nama "The World’s Most Literate Nations", menunjukan Indonesia berada di peringkat ke-60, hanya satu tingkat di atas Botswana dan persis berada di bawah Thailand (urutan 59).
Berdasarkan data Most Littered Nation In the World, studi untuk mencari tahu seberapa tinggi minat baca negara-negara di dunia yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada Maret 2016 lalu, memang negara kita tercinta ini dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Jika ada mempertanyakan cara CCSU hingga bisa sampai pada kesimpulan seperti itu? Bagaimana metode mereka untuk mendapatkan data-datanya? Saya lebih mengambil sisi positifnya, bahwa ini reminder untuk Indonesia.
Penyebab rendah minat dan kebiasaan membaca itu antara lain kurangnya akses, terutama untuk di daerah terpencil. Hal itu merupakan salah satu yang terungkap dari Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud Lukman Solihin mengatakan, ada empat dimensi menjadi pokok bahasan dalam indeks tersebut, yaitu dimensi kecakapan, akses, alternatif, dan budaya.
Dimensi kecakapan bisa dilihat dari indikatornya berupa bebas buta aksara dan rata-rata lama sekolah, sedangkan dimensi akses, terdiri dari perpustakaan daerah, perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan sekolah.
Kemudian, untuk dimensi alternatif ini selain yang konvensional, yaitu penggunaan internet, membaca daring, dan media online. Adapun dimensi budaya dimaknai sebagai bagian dari kebiasaan membaca, misalnya meminjam buku di perpustakaan, memanfaatkan taman bacaan, serta membaca koran dan buku.
Dari keempatnya, hasil survei untuk dimensi akses adalah yang paling rendah, yaitu 23,09 persen. Adapun dimensi kecakapan 75,92 persen, dimensi alternatif 40,49 persen, dan dimensi budaya 28,50 persen. “Artinya ada korelasi antara akses dengan kebiasaan, kalau enggak ada akses bagaimana mau membaca. Para pegiat literasi melihat bahwa minat baca cukup tinggi, tapi itu potensi yang belum mewujud jadi perilaku, kebiasaan, dan budaya,” ujar Lukman dalam diskusi di kantor Kemendikbud, Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Menurut dia, keterbatasan akses ini bisa diatasi, misalnya dengan memanfaatkan teknologi internet dan gawai (gadget) serta perangkat elektronik lain, terutama untuk sekolah di daerah pelosok desa. Biasanya di daerah tersebut masih susah ditemui toko buku dan perpustakaan yang memadai. Bahkan untuk pengiriman buku juga masih mengalami kesulitan. Maka dari itu, guru bisa mengakalinya dengan mengunduh buku digital lalu dibacakan kepada para siswa di kelas. “Untuk mengatasi keterbatasan akses, misalnya guru di daerah terpencil bisa mengunduh buku digital, lalu ditampilkan ke proyektor dan dibaca sama-sama di kelas,” imbuh Lukman. Dengan begitu, diharapkan masalah keterbatasan akses bisa dikurangi dan penyebaran buku lebih merata sehingga mampu menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca bagi anak-anak di berbagai daerah.
Nah, statement dari pak Lukman inilah yang menarik. Kita punya tugas membudayakan membaca dengan perangkat digital.
Jangan hanya sibuk dengan berita ga jelas yang di-posting di grup medsos.
Hehehe.
Sumber:
Sumber: