Entah berapa lama saya tidak menyentuh blog ini.
Sepertinya saya harus memaksa diri untuk itu, karena istiqomah alias konsisten untuk hal baik, bukan hal yang mudah.
Sepakat kan?!
Seputar Puisi dan KBBI/PUEBI
Sumber: YF Edukasi |
1.Tanda hubung dipakai untuk menandai bagian kata yang terpenggal oleh pergantian baris.
Misalnya:
2. Tanda hubung dipakai untuk menyambung unsur kata ulang.
Misalnya:
3. Tanda hubung dipakai untuk menyambung tanggal, bulan, dan tahun yang dinyatakan dengan angka atau menyambung huruf dalam kata yang dieja satu-satu.
Misalnya:
4. Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian kata atau ungkapan.
Misalnya:
Bandingkan dengan
5. Tanda hubung dipakai untuk merangkai
a. se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital (se-Indonesia, se-Jawa Barat);
b. ke- dengan angka (peringkat ke-2);
c. angka dengan –an (tahun 1950-an);
d. kata atau imbuhan dengan singkatan yang berupa huruf kapital (hari-H, sinar-X, ber-KTP, di-SK-kan); e. kata dengan kata ganti Tuhan (ciptaan-Nya, atas rahmat-Mu);
f. huruf dan angka (D-3, S-1, S-2); dan
g. kata ganti -ku, -mu, dan -nya dengan singkatan yang berupa huruf kapital (KTP-mu, SIM-nya, STNK-ku).
Catatan: Tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan angka jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf.
Misalnya:
6. Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa daerah atau bahasa asing.
Misalnya:
7. Tanda hubung digunakan untuk menandai bentuk terikat yang menjadi objek bahasan.
Misalnya:
1. Tanda pisah dapat dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.
Misalnya:
2. Tanda pisah dapat dipakai juga untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain.
Misalnya:
3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat yang berarti 'sampai dengan' atau 'sampai ke'.
Misalnya:
Sumber: Twitter Ivan Lanin |
Sumber: lektur.id |
Sadar atau tidak sadar ...
Sumber: picturequotes.com |
Sumber: Google |
Sumber: Twitter Graf Literasi @graflit_id |
Tulisan kali ini bersumber dari narabahasa.id dengan sedikit modifikasi dari saya
Apostrof (‘) merupakan tanda baca dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai penyingkat. Kita sering membaca sebuah kata dengan apostrof seperti ‘kan, ‘ku, t’lah, dan sebagainya. Namun, ternyata pada awal kemunculannya, apostrof tidak hanya berperan sebagai penyingkat.
Oxford English Dictionary mencatat bahwa apostrof berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘peniadaan bunyi dalam ucapan’. Ada anggapan bahwa apostrof pertama kali digunakan oleh Pietro Bembo—seorang sarjana, penyair, dan teoretikus sastra asal Italia—dalam buku De Aetna (1496). Kemudian, dalam praktik bahasa Prancis, tanda apostrof dipopulerkan oleh Geoffroy Tory pada 1529. Barulah setelah itu, apostrof mulai merebak di Britania Raya pada awal abad ke-16 melalui buku The Cosmographical Glasse (1559) karya William Cunningham.
Beralih ke tanah air, orang Belanda pun menggunakan apostrof ketika menulis dalam bahasa Melayu. Penulisan apostrof pada saat itu berfungsi sebagai tanda trema, yakni titik dua horizontal (¨) di atas huruf vokal sebagai penanda suku kata yang terpisah. Misalnya, taΓ€t. Lebih lanjut, Ophuijsen menjelaskan bahwa apostrof dalam aksara Latin merupakan spiritus lenis atau embusan lembut yang menandakan ketiadaan bunyi glotal bersuara /h/ pada awal kata. Hal ini berbeda dengan bahasa Arab yang menggunakan bunyi hamzah pada awal dan akhir kata sebagai spiritus lenis.
Ophuijsen lantas berkeinginan untuk menyederhanakan bunyi hamzah pada aksara Arab-Melayu—h dan q—dengan menggunakan apostrof. Kemudian, berdasarkan Ejaan Soewandi (1947), bunyi hamzah atau yang serupa dengannya ditulis dengan huruf k pada akhir suku kata, seperti makna. Barulah dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan edisi pertama (1972), tanda apostrof diatur sebagai penyingkat. Aturan ini diperkuat dengan terbitnya Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2015).
Bahasa Indonesia hari ini hanya mengenal apostrof sebagai penyingkat kata dan tahun. Contohnya sebagai berikut.
Pada contoh pertama, ‘kan adalah akan dan s’lalu berarti selalu. Contoh kedua memanfaatkan apostrof untuk menghilangkan penunjuk 19. Sementara itu, pada contoh ketiga, ‘kan mengartikan bukan.
Sumber: narabahasa.id
Salah satu hal kecil yang sering mengganggu saya sewaktu memeriksa tulisan-tulisan pada situs iKnow adalah aturan penggunaan spasi sebelum dan setelah tanda baca. Pedoman EYD memang tidak secara jelas menyebutkan aturan ini, tetapi contoh-contoh di dalam pedoman ini memberikan gambaran tentang hal tersebut.
Sumber: ivanlanin |
Tanda baca yang paling sering kita pakai–tanda titik, koma, tanya, dan seru–tidak diberi spasi sebelum tanda baca tersebut, tetapi diberi spasi setelahnya. Tanda hubung, pisah, dan garis miring tidak diberi spasi baik sebelum maupun setelah tanda baca tersebut. Tanda baca pengapit (tanda petik dan tanda kurung) diberi spasi untuk memisahkannya dengan bagian lain dari kalimat, tetapi tidak diberi spasi untuk memisahkannya dengan bagian yang diapit.
Cara penulisan yang kurang sesuai dengan pedoman ini yang sering ditemukan antara lain:
Sumber: https://ivanlanin.wordpress.com/2012/09/05/spasi/
..........
..........
#belajarbahasaindonesia
...........
Kata "ku" dan "kau" merupakan bentuk ringkas dari kata ganti (pronomina) "aku" dan "engkau". Bentuk ringkas ini disebut "klitik" yang selalu ditulis serangkai dengan kata lain yang mengikuti atau mendahuluinya.
Klitik "ku" dapat diletakkan di depan (misalnya kubuka) atau di belakang suatu kata (misalnya bukuku), sedangkan klitik "kau" hanya dapat diletakkan di depan suatu kata (misalnya kaubuka).
Bentuk klitik orang kedua yang kita pakai di belakang suatu kata bukanlah "-kau", melainkan "-mu" (bentuk ringkas dari "kamu").
Klitik yang diletakkan di depan suatu kata disebut "proklitik". Proklitik "ku-" dan "kau-" hanya dapat dilekatkan dengan kata kerja (verba) pasif dan berfungsi sebagai penunjuk pelaku. Berikut arti kata yang dibentuk oleh kedua proklitik ini.
(1) kubaca = dibaca oleh aku
(2) kausambung = disambung oleh engkau
Proklitik "ku-" dan "kau-" tidak dapat diikuti oleh kata kerja aktif, misalnya kumembaca atau kaumenyambung. Untuk keperluan ini, gunakan bentuk panjang "aku" dan "engkau" (atau "kamu").
Klitik yang diletakkan di belakang suatu kata disebut "enklitik". Enklitik "-ku" dan "-mu" (bukan "-kau") berfungsi sebagai penunjuk pemilik atau tujuan.
(3) bukuku = buku milik aku
(4) mengirimimu = mengirim kepada kamu
Selain sebagai klitik, "kau" dapat dipakai sebagai kata yang berdiri sendiri sebagai sinonim "engkau", tetapi "ku" tidak dapat berdiri sendiri. Contoh #5 dan #6 berikut benar, sedangkan #7 dan #8 salah.
(5) Kau ikut, tidak? = Engkau ikut atau tidak?
(6) Kau harus ikut = Engkau harus ikut
(7) Ku ikut, dong (seharusnya "Aku ikut, dong")
(8) Ku ikuti kamu (seharusnya "aku ikuti kamu" atau "kuikuti kamu")
Perlu diingat, baik "aku", "engkau", maupun "kamu" adalah kata ganti yang dipakai dalam ragam tidak formal yang menunjukkan keakraban. Demikian pula klitik "ku-", "-ku", "kau-", dan "-mu". Jangan pakai kata-kata ini kepada orang yang lebih tua atau lebih dihormati, kecuali dalam situasi akrab yang diizinkan.
Simpulan:
1. "ku" selalu dilekatkan dengan kata yang mengikuti atau mendahuluinya;
2. "kau" dapat dilekatkan atau dipisahkan dengan kata yang mengikutinya;
3. "mu" selalu dilekatkan dengan kata yang mendahuluinya;
4. Proklitik "ku-" dan "kau-" hanya dapat dilekatkan dengan kata kerja pasif.
..........
Quote:
"Pahami bahasa sendiri, jika anda ga ingin jadi orang asing di negeri sendiri."
Ini quote serius dari saya πππ